Thursday, May 26, 2011

PERLINDUNGAN HAK - HAK KONSUMEN

Setiap konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi barang/jasa yang tidak memenuhi aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan dan keselamatan konsumen dapat menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen).
Pengaduan dilakukan dengan mengisi formulir yang disediakan BPSK dengan menyebut nama dan alamat pengadu (Konsumen), pelaku usaha dan melampirkan barang/jasa yang diadukan, bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi dll), keterangan tempat dan waktu diperolehnya barang/jasa tersebut.Penyelesian sengketa konsumen di BPSK selambat-lambatnya 21 hari sudah harus diputuskan, terhitung sejak pengaduan.Putusan BPSK bersifat final dan mengikat dan tidak dapat dilakukan banding.

Perlu diketahui bahwa pada tanggal 20 April 1999 pengesahan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) .Selanjutnya pada 20 April 2000 undang-undang ini efektif mulai diberlakukan.UUPK ini terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal yang dilengkapi dengan penjelasan.

Pada Pasal 2, memuat Azas dari perlindungan konsumen, yaitu : “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Bahwa sebagaimana kita ketahui bersama produsen atau disebut dengan kata lain pelaku usaha, yang memproduksi, menjual, menawarkan barang dan/atau jasa kepada masyarakat konsumen, terkadang tidak sesuai lagi dengan kenyataan yang ada. Masyarakat selaku Konsumen sering kali adalah korban yang posisinya dirugikan, akibat perbuatan dari pada pelaku usaha (produsen).Ada dua permasalahan yang umum akhir akhir ini secara transparan telah merugikan masyarakat konsumen, misalnya seringnya terjadi pemadaman Lampu dan tarif rekening listrik tiba2 melonjak yang dilakukan oleh PT. PLN. Serta para konsumen (pemakai) telepon seluler merk BlackBerry,hingga saat ini para konsumennya masih bingung jika ponsel mereka rusak mau diperbaiki dimana ? sekalipun konsumen Ponsel BlakcBerry mengantongi kartu garansi namun “Care Blackberry” tidak ada di Indonesia.

Sudah sangat jelas masyarakat konsumen adalah pihak paling dirugikan dalam permasalahan pemadaman lampu yang dilakukan oleh PT.PLN & produk Ponsel BlackBerry yang tidak melakukan purna jual di Indonesia sebagaimana apa yang pernah dijanjikan oleh perusahaan ponsel tersebut.Persoalan ini telah menjadi pembicaraan hari lepas hari, namun tidak ada tindak lanjutnya dari pihak masyarakat konsumen yang telah dirugikan.Hingga menimbulkan pertanyaan “ Kenapa… , dan Ada apa dibalik ini semuanya ….?...

Konsumen Indonesia lebih banyak pasrah dengan keadaan, atau barangkali tidak tau caranya mengadukan produsen yang telah merugikan dirinya sebagai pemakai/pengguna barang. Pada umumnya masyarakat konsumen kita hanya mengetahui dan mengadukan persoalannya kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tanpa menindak lanjuti untuk menuntut produsen yang telah merugikan diri konsumen.Persoalan konsumen yang dirugikan produsen, lebih banyak mengendap atau diendapkan oleh oknum yang ingin mendapatkan keuntungan dari persoalan yang dialami konsumen.Apalagi ada pihak yang memberikan informasi tidak benar, ada yang mengatakan untuk memperkarakan produsen butuh biaya besar, termasuk biaya menggunakan jasa pengacara untuk menuntut haknya yang telah dirugikan oleh produsen.

Pengalaman beberapa orang konsumen yang melaporkan perkaranya telah mendapat bantuan hukum dari YLKI ( Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), mereka berkomentar bahwa mencari keadilan melalui pengadilan memakan waktu, biaya yang tidak sedikit, serta pengorbanan dari keluarga. Tidak jarang pengorbanan yang diberikan tidak sebanding dengan manfaat serta keuntungan yang diperoleh nantinya dalam rangka menuntut produsen.Komentar dari masyarakat konsumen yang bernada pesimis ini, adalah akibat penerimaan informasi serta nasehat-nasehat hukum yang sesat & nakal yang diberikan kepada para konsumen yang mengadu.Semuanya ini diakibatkan konsumen selaku pihak korban tidak kritis, juga sebab lebih banyak masyarakat konsumen kita tidak mengetahui hak – hak dan tata cara upaya hukum dan ke lembaga mana saja mereka dapat menuntut haknya, bilamana terjadi kerugian akibat perbuatan nakal produsen..?

Kita selaku Konsumen (penggunan barang & jasa) adalah sebagai berikut :

1. Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan komersial (diperdagangkan kembali) ;
2. Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan diri sendiri/ keluarga dan non-komersial.(dipakai sendiri)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang di bentuk oleh tiap-tiap Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan wewenang, serta penyelesaian sengketa oleh BPSK dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari Pasal 49 sampai Pasal 58.
Menurut Pasal 52, BPSK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau koalisi ;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen ;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini ;
e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen ;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen ;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen ;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini ;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagai mana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen ;
j. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan ;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen ;
l. Memberitahukan putusan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen ;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Dalam Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan majelis (BPSK) bersifat final dan mengikat. Walaupun demikian, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Terhadap putusan Pengadilan Negeri ini, meskipun dikatakan bahwa Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen hanya memberikan hak kepada pihak yang tidak merasa puas atas putusan tersebut untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga telah memberikan jangka waktu yang pasti bagi penyelesaian perselisihan konsumen yang timbul, yakni 21 (dua puluh satu) hari untuk proses pada tinggkat pengadilan negeri, dan 30 (tiga puluh) hari untuk diselesaikan oleh Mahkamah Agung, dengan “jeda” masing-masing 14 (empat belas) hari untuk mengajukan keberatan ke Penggadilan Negeri maupun kasasi ke Mahkamah Agung

Aturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan dapat ditemukan dalam Bab XIII Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari :
1. Sanksi administrative;
2. Sanksi pidana pokok ;
3. Sanksi pidana tambahan.

1. Sanksi Administrative
Sanksi administrative diatur dalam satu Pasal, yaitu Pasal 60. Sanksi administrative ini, sebagaimana merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atas tugas dan/atau kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini kepada BPSK untuk menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan.
Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-¬tingginya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/dalam rangka :

1. Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada para konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;
2. Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;
3. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas, jaminan, purna- jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaanya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya; balk berlaku terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa.

2. Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan dilakukannya penuntutan pidana terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Rumusan Pasal 62 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan pelanggaran terhadap :
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam :
a. Pasal 8, mengenai barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan ;
b. Pasal 9 dan Pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar;
c. Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan ;
d. Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik) ;
e. Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, mengenai Man yang memuat informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan ;
f. Pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran Man yang dilarang, dan;
g. Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku ;
Dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp. 2.000.000.000,00.- (dua milyar rupiah).
2. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam
a. Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang ;
b. Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus ;
c. Pasal 13 ayat (1), mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma;
d. Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui undian ;
e. Pasal 16, mengenai penawaran melalui pesanan ;
f. Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f mengenai produksi iklan yang bertentangan etika, kesusilaan, dan ketentuan hukum yang berlaku ;
Dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua ) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku secara umum.



3. Sanksi Pidana Tambahan
Ketentuan Pasal 63 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan berupa:
a. Perampasan barang tertentu ;
b. Pengumuman keputusan hakim ;
c. Pembayaran ganti rugi ;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen ;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran ;
f. Pencabutan izin usaha.

Adapun mengenai pembuktian mengenai kesalahan pelaku usaha seperti halnya beban pembuktian perdata, ketentuan Pasal 22 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan beban dan tanggung jawab pembuktian pidana atas/mengenai kesalahan dalam setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada pelaku usaha sepenuhnya. Walaupun demikian Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak menutup kemungkinan dilakukannya pembuktian oleh jaksa penuntut umum.
Dalam Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan majelis (BPSK) bersifat final dan mengikat. Walaupun demikian, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Terhadap putusan Pengadilan Negeri ini, meskipun dikatakan bahwa Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen hanya memberikan hak kepada pihak yang tidak merasa puas atas putusan tersebut untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun dengan mengingat akan relativitas dari “tidak merasa puas”, peluang untuk mengajukan kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam perkara. Selain itu, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen juga telah memberikan jangka waktu yang pasti bagi penyelesaian perselisihan konsumen yang timbul, yakni 21 (dua puluh satu) hari untuk proses pada tinggkat pengadilan negeri, dan 30 (tiga puluh) hari untuk diselesaikan oleh Mahkamah Agung, dengan “jeda” masing-masing 14 (empat belas) hari untuk mengajukan keberatan ke Penggadilan Negeri maupun kasasi ke Mahkamah Agung

Hak Cipta dan Hak Paten

Hukum Hak Cipta melindungi karya intelektual dan seni dalam bentuk ekspresi. Ekspresi yang dimaksud seperti dalam bentuk tulisan seperti lirik lagu, puisi, artikel atau buku, dalam bentuk gambar seperti foto, gambar arsitektur, peta, serta dalam bentuk suara dan video seperti rekaman lagu, pidato, video pertunjukan, video koreografi dll,

Definisi lain yang terkait adalah Hak Paten, yaitu hak eksklusif atas ekspresi di dalam Hak Cipta di atas dalam kaitannya dengan perdagangan. Regulasi di Amerika Hak Cipta diberikan seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, sedangkan paten berlaku 20 tahun. Saya tidak tahu hukum di Indonesia apakah sama atau tidak. Hak Cipta direpresentasikan dalam tulisan dengan simbol © (copyright) sedangkan Hak Paten disimbolkan dengan ™ (trademark). Hak Cipta atau Hak Paten yang masih dalam proses pendaftaran disimbolkan ® (registered). IANAL, so CMIIW dude!

Hukum Hak Cipta bertujuan melindungi hak pembuat dalam mendistribusikan, menjual atau membuat turunan dari karya tersebut. Perlindungan yang didapatkan oleh pembuat (author) adalah perlindungan terhadap penjiplakan (plagiat) oleh orang lain. Hak Cipta sering diasosiasikan sebagai jual-beli lisensi, namun distribusi Hak Cipta tersebut tidak hanya dalam konteks jual-beli, sebab bisa saja sang pembuat karya membuat pernyataan bahwa hasil karyanya bebas dipakai dan didistribusikan (tanpa jual-beli), seperti yang kita kenal dalam dunia Open Source, originalitas karya tetap dimiliki oleh pembuat, namun distribusi dan redistribusi mengacu pada aturan Open Source.

Apa yang tidak dilindungi oleh hukum Hak Cipta?

Hak Cipta tidak melindungi peniruan, ide, konsep atau sumber-sumber referensi penciptaan karya. Apple sempat menuntut penjiplakan tema Aqua kepada komunitas Open Source, namun yang terjadi adalah bukan penjiplakan, tapi peniruan. Hak Cipta yang dimiliki Apple adalah barisan kode Aqua beserta logo dan gambar-gambarnya, sedangkan komunitas Open Source meniru wujud akhir tema Aqua dalam kode yang berbeda, dan tentunya membuat baru gambar dan warna pendukungnya. Meniru bukanlah karya turunan.

Dalam perangkat lunak selain karya asli yang dilindungi juga karya turunan (derivasi) tetap dilindungi. Misal Priyadi yang membuat kode plugin php exec di WordPress harus mengikuti aturan redistribusi yang berlaku pada WordPress, dan WordPress mengikuti aturan PHP dan PHP memiliki lisensi Open Source. Dengan kata lain Priyadi harus tunduk terhadap aturan Open Source dalam meredistribusikan kodenya, karena karya tersebut bersifat turunan.

Masalah penjiplakan atau pembajakan memang tak pernah selesai, menjadi sangat rumit ketika semuanya berkaitan dengan uang atau meja hijau. Contoh kecil adalah misalnya jika saya menyanyikan lagu yang diciptakan oleh Chrisye di sebuah panggung dan penonton membayar saya, saya bisa dikatakan menjiplak dan mengambil untung. Kondisi ini jelas terjadi di mana-mana, banyak grup musik yang meniti karir dari pub ke pub menarik uang dengan menjiplak karya orang lain. Bahkan jika penampilan karya dalam bentuk gubahan, tetap dikatakan menjiplak karena itu bersifat karya turunan.

Saya sendiri pun termasuk dalam rantai pembajakan, misalnya men-download musik-musik dalam format mp3 atau mengubah format CD Audio ke dalam mp3 dan memberikannya kepada orang lain. Dalam kasus ini saya tidak menjiplak, tapi lebih kepada ‘konsumen para pembajak’. Tugas pemerintahlah melalui hukum mengurangi rantai pembajakan ini, dan jelas bisa dikurangi jika yang dibasmi adalah mata rantai yang lebih tinggi (pengedar, terutama dalam volume yang besar), bukan pengguna akhir.

Mungkin picik saya berkata seperti itu, tapi itu saya alami dalam hal lain, misalnya membeli buku, saya tidak membajak karena nyaris tidak ada rantai pembajakan buku yang saya konsumsi. Sewaktu kuliah dulu pengajar mewajibkan membaca text-book berbahasa Inggris dan sangat mahal, sedangkan di perpustakaan kampus hanya ada dalam itungan jumlah jari dalam satu tangan, tentunya sangat repot saya baca karena laku keras dipinjam oleh mahasiswa, akhirnya buku tersebut difotokopi ramai-ramai. Buku lain yang mudah didapat tanpa membajak tentunya saya beli. Saya salah tapi tak bisa menyalahkan diri sendiri.

Sengketa Ekonomi

Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya

Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.

3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)

Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation

Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way).

Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.

b). Sistem Minitrial

Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition

Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.

Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.

Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
4. keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai the first resort.

Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
1. sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis,
2. hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award (verdict),
3. oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan,
4. dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d). Sistem Adjudication

Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.

Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
1. orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
2. dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.

Proses penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar profesional,
3. dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party),
4. sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase

Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.

Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).

PERSAINGAN SEHAT ANTARTIM KERJA

Pernahkah juara dunia lari 100 meter berlomba lari sendirian? Pasti tidak. Apakah sang juara ketika berlari tidak punya keinginan untuk mengalahkan orang lain? Jelas punya keinginan. Nah keinginan itulah sebagai unsur impiannya. Sementara pelari lain merupakan unsur pendorong yang menyebabkan dia mampu menjadi juara. Dia tidak mau kalah dengan pelari lain. Dengan kata lain karena masing-masing pelari ingin menjadi juara maka disitulah terjadi persaingan. Yaitu persaingan untuk menjadi yang terbaik. Dalam dunia kerja, persaingan dalam satu tim bisa diduga akan terjadi persaingan antarindividu. Sementara persaingan dalam satu divisi, misalnya, maka yang terjadi adalah persaingan antartim kerja. Sama saja dengan contoh juara lari, maka suasana persaingan akan membantu tim tertentu menghasilkan yang terbaik. Hal demikian baru bisa tercapai apabila tiap individu tim secara keseluruhan mau belajar, mempraktekan, atau memainkan “pertandingan” atau proses pekerjaan dengan sehat. Dengan kata lain tidak main sikut atau curang. Sebaliknya harus “fair play”; mengikuti aturan dan berjiwa sportif. Obsesinya adalah kalau “juara” maka imbalan dalam bentuk promosi karir akan sudah tampak di depan mata.

Sementara itu persaingan sehat membutuhkan penilaian yang jujur. Setiap catatan keberhasilan seharusnya mencerminkan ciri obyektif. Artinya harus jelas sekali ukuran-ukuran yang dinilai. Kalau dalam suatu tim maka ukuran yang paling mudah adalah produktivitas. Kemudian perlu pengukuran efektifitas dan efisiensinya. Juga perlu ditelaah pada berapa periode “kemenangan” dicapai suatu tim termasuk fluktuasinya. Apakah cenderung berfluktuasi ataukah cenderung terus meningkat ataukah pula hanya datar-datar saja. Perhitungan yang didasarkan pada kondisi nyata akan berkontribusi pada hasil pengukuran yang obyektif. Untuk itu perusahaan harus memiliki standar ukuran suatu proses dan kinerjanya.

Persaingan sehat seharusnya mampu membangun persahabatan. Karena diawali dengan jiwa sportif dan jujur maka tidak ada alasan, persaingan sesama tim dalam satu divisi akan menimbulkan pertentangan antartim. Justru malah sebaliknya yakni persaingan sehat untuk membangun hubungan semakin baik dalam satu tim maupun dengan tim lain. Ikatan ini akan menciptakan motivasi tim dalam mengembangkan persahabatan bahkan persaudaraan yang lebih besar lagi. Kalau ini terjadi maka yang diuntungkan tidak saja individu karyawan dan manajemen tetapi juga organisasi.

Selain itu persaingan sehat tidaklah harus menjadi urusan personal pemain. Artinya persaingan antartim seharusnya dipandang dari sudut untuk memperoleh kesenangan dalam ”bermain”. Setiap individu seharusnya tidak ada yang merasa bersalah lalu kecewa sampai bermuram durja setelah permainan selesai. Justru sebaliknya tiap individu dan kelompok melakukan penilaian diri tentang kekuatan dan kelemahannya. Pokoknya persaingan sehat seharusnya tidak mengenal kata ”beban” baik kalau menang maupun kalau kalah dalam persaingan.

Inti dari persaingan sehat sebenarnya pada upaya membangun perusahaan yang memiliki daya saing tinggi. Karena itu persaingan, dalam prakteknya, membantu individu tim untuk saling memperbaiki performanya. Jangan sampai ekstremnya, para pemain apalagi ketua timnya berselisih atau tidak bertegur sapa dengan tim lainnya. Kalau itu terjadi berarti ada yang kurang sehat di kalangan individu. Konon ”tidak siap” kalah namanya. Karena itu setiap tim seharusnya menempatkan persaingan sesuai dengan tempatnya secara proporsional. Persaingan harus dipandang sebagai saluran untuk ajang saling mengembangkan motivasi, kreasi, dan insiatif. Sekaligus sebagai tempat untuk membuktikan derajat kemampuan berkoordinasi dan derajat kinerja yang dapat dicapai individu dalam suatu tim. Tentunya persaingan sehat ini baru bisa terjadi kalau ada dukungan manajemen puncak dan para pimpinan di tingkat manajemen lainnya.

Perlindungan Konsumen

Konsumen berasal dari bahasa Belanda “Konsument” artinya memakai. Menurut para sarjana konsumen diartikan pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka dari para produsen.

Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentng perlindungan konsumen mendefinisikan konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat. Baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun mkhluk hidup lain dan todak untuk diperdagangkan. Dari pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bhwa pemakai produk itu dapat perorangan atau badan usaha atau badan hukum.

Hak dan kewajiban konsumen dalam Undang-undang perlindungan konsumen antara lain :

Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 mengenai hak konsumen :

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
Hak untuk memilih barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.
Hak untuk didengar pendapat atau keluhan atas barang atau jasa.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujr serta tidak diskriminatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuat dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5 UU No. 8 tahun 1999 mengenai kewajiban konsumen :

Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
Beritikad baik dalam melakukan trnsaksi pembelian barang atau jasa.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yng disepakati.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Pengertian Produsen

Produsen termasuk dalam pengertian pengusaha, sebab pengusaha dalam arti luas mencakup produsen dan pegadang perantara yaitu setiap orang atau badan usaha yng menghasilkan barang-barang untuk dipasarkan. Selanjutnya produsen dituntut oleh UU no. 8 tahun 19999 untuk taat terhadap hak dan kewajiban sebagai pelaku usaha/produsen.

Pasal 6 Undang-undang tersebut, diatur mengenai hak pelaku usaha/produsen antara lain :

Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang berlaku.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi atas barang yang dibuat atau dipergunakan.
Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantin barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatjan tidak sesuai dengan perjanjian.

3. Pengertian tanggung Jawab, Tanggung Gugat, dan Dipertanggung jawabkan.

Tanggung jawab berarti orang harus menanggung untuk menjawab segala perbuatannya atas segala yang menjadi kewajibannya dan di bawah pengawasaanya.

Tanggung gugat berarti seseorang harus menanggung terhadap suatu gugatan yang disebabkan oleh perbuatannya yang merugikan orang lain.

Dipertanggung jawabkan berarti orang harus dapat dipertanggungkan kepadanya yaitu keadaan jiwa yang memungkinkan dinyatakan bertanggung jawab terhadap suatu kelakuan dari perbuatannya.

Dengan menggunakan pengertian di atas, maka tanggung gugat produk merupakan usaha untuk menanggung setiap gugatan yang timbul yang disebabkan oleh kerugin karena pemakaian suatu produk.

Tanggung gugat produk makanan yang cacat, berarti tanggung gugat produsen dari produk makan yang merugikan konsumen karena adanya cacat, tentunya cacat yang tidak diketahui pada saat perjanjian itu dibuat. Adapun pengertian makanan cacat adalah makanan yang tidak sempurna, mulai dari proses penyiapan bahan baku, proses produksi sampai dengan pemasaran. Jika kemudian menimbulkan kerugian bagi konsumen maka di sana berarti terjadi cacat produksi.

Menurut pendapat Blombergen bahwa tanggung jawab dapat menggunakan 2 dasar yakni :

a. Tanggung gugat berdasar perjanjian.

b. Tanggung gugat berdasar perbuatan melawan hukum.

Selanjutnya setiap pengaduan konsumen tergadap kerugian yang dideritanya dari pelaku usaha dapat ditempuh melalui 2 cara yang disebut pada pasal 45 ayat 1 :

1. Gugatan kepada pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan produsen di luar perdilan dalam hal ini: Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

2. Gugatan kepada pelku usaha melalui perdilan umum menggunakan ketentuan hukum acara perdata, sebagaimana penyelesaian kasus perdata pada umumnya.

Tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap produsen secara hukum perdata dapat dibedakan menjadi 2 yakni :

1) Kerugian transaksi yaitu kerugian yang timbul dri jual beli barang yang tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi. Misalnya A membeli jeruk dari B, B sengaja memberikan jeruk yang sudah busuk, sehingga menular kepada jeruk-jeruk yang lain milik A.

2) Kerugian produk adalah kerugian tyang langsung atau tidak langsung yang diderita akibat dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko produksi akibat perbuatan melawan hukum.

Pasal 1365 KUH perdata menentukan bahwa : “ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Kemudian pasal 1865 KUH perdata menentukan pula bahwa setiap orang yng mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atas guna meneguhkan haknya sendiri, maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang dirugikan oleh peristiwa perbuatan/kelalaian, kurang hati-hati, berhak mendapat ganti rugi (kompensasi) atas kerugianny itu. Tetapi untuk mendapatkan hak ganti rugi tersebut undang-undang membebankan pembuktian kesalahan orang lain dalam peristiwa tersebut kepada mereka yang menggugat ganti rugi.

KERJASAMA DIREKTORAT JENDERAL HKI DAN KEPOLISIAN RI DALAM MENINDAK PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bekerjasama dengan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Metro Jaya Polda Metro Jaya melakukan penindakan dan penyitaan terhadap 4 toko yang menjual VCD dan DVD bajakan pada hari Kamis, 12 Mei 2011 di Plaza Semanggi, Jakarta. Tindakan ini merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat terkait pelanggaran hak cipta tersebut. Penindakan dan penyitaan tersebut dipimpin langsung oleh Direktur Penyidikan Direktorat Jenderal HKI, Fathlurachman, S.H., M.M beserta jajarannya. Fathlurachman menyatakan bahwa “dalam penindakan dan penyitaan ini, Direktorat Penyidikan telah berkoordinasi dengan pihak Direskrimsus Polda Metro Jaya sejak laporan mengenai pelanggaran hak cipta diterima. Sebelum melakukan tindakan dan penyitaan ini pun juga terlebih dahulu dilakukan pemanggilan terhadap pelapor, pengecekan dengan beberapa ahli terkait pelanggaran hak cipta dan investigasi secara langsung kelapangan. “Kami tidak bisa secara langsung terjun kelapangan untuk melakukan tindakan sebelum memastikan segala sesuatunya sesuai dengan undang-undang yang berlaku”, ujar Fathlurachman.

Penindakan dan Penyitaan ini hanya merupakan langkah awal untuk selanjutnya akan dilakukan pengembangan ke target yang lebih besar. Dan telah dilakukan pemanggilan terhadap pemilik keempat toko tersebut. Bila dalam 2 kali pemanggilan tidak memenuhi panggilan tersebut akan kami jadikan Daftar Pencarian Orang (DPO). Tindakan dan penyitaan ini merupakan shock therapy bagi masyarakat agar peduli dengan kampanye anti pembajakan”, tegas Salmon Pardede Kasubdit Pengaduan yang bertugas berkoordinasi secara intensif dengan pihak Polda Metro Jaya.

“Dalam aksi penindakan ini, kami berhasil menyita ribuan keping DVD dan VCD bajakan dari 4 toko yang berbeda di Plaza Semanggi. Tindakan ini kami harapkan dapat menjadi warning bagi mal-mal lain yang menjual barang-barang yang melanggar Hak Kekayaan Intelektual, tidak hanya dalam hal pelanggaran hak cipta, kita juga akan melakukan penindakan tehadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran seperti halnya pelanggaran merek dan paten, tegas bapak Andri Anggoro salah satu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Ditjen HKI.